Lesson Learn · Thought · Traveling

Bandung – Jakarta – Singapore – London

22 Mei 2019. Jakarta rusuh akibat demo hasil Pilpres. Dihari itu juga bertepatan dengan kepergian saya ke London. Tentu saja saya sangat cemas, setelah malamnya packing di injury time. Saya jadi teringat kebiasaan mama yang begitu rapi mempersiapkan segala kebutuhannya ketika akan menempuh perjalanan jauh. Dulu saya heran dengan itu. Kenapa harus berlebihan? bahkan 1 bulan keberangkatan mama sudah packing. Namun kini, saya sangat menyadari manfaatnya. Kecemasan yang saya alami, membuat saya semakin Lelah. Saya takut bila ketinggalan pesawat.

Beberapa jam sebelum ke Jakarta, saya sempat terpikir langsung menuju Singapura dengan Pesawat dari Bandung, untuk menghindari kericuhan Jakarta. Namun saya mengurungkan niat, karena mahalnya tiket Bandung – Singapura. Dalam hati sesungguhnya saya semakin mengeluh. Beruntung, seorang teman bisa diajak berdiskusi untuk menentukan pilihan transportasi yang akan membawa saya dari Bandung ke Jakarta. Apakah saya harus naik kereta dimana kabarnya hari itu stasiun gambir ditutup? Dengan risiko saya harus naik taksi ke Bandara dari stasiun Jatinegara. Atau saya harus naik travel dengan waktu tempuh yang tidak menentu?. Pada akhirnya si cemas ini, memilih untuk tetap menjalankan rencana awal menggunakan kereta. Entah apapun yang terjadi, saya hanya bisa berusaha tenang berdoa sambil membayangkan saya sampai bandara dengan selamat. Biasanya dalam kondisi seperti ini, kombinasi antara bertukar pemikiran dengan orang yang tepat dan kesadaran diri untuk berpasrah memunculkan solusi yang tidak terpikirkan sebelumnya.

Suasana demo di Jakarta dikabarkan mencekam. Saya sengaja tidak membaca berita atau melihat instagram yang membuat hati saya semakin gusar. Beruntung, saya akhirnya bisa berada di Kereta Api tepat waktu. Suasana Kereta yang tidak terlalu ramai penumpang, membuat saya lebih mudah untuk tidur sejenak. Mengingat malam sebelumnya, saya hanya tidur 4 jam untuk menyeleseikan packing. Hingga tak terasa, Kereta sudah sampai Stasiun Gambir dan saya melanjutkan perjalanan menuju Bandara Soekarno Hatta dengan selamat.

Sore itu, saya tidak melihat jalanan dari Stasiun Gambir menuju Bandara macet seperti biasanya. Bahkan lebih lancar dari yang diperkirakan. Mungkin warga Jakarta enggan keluar rumah atau beberapa pihak perusahaan di Jakarta meliburkan karyawannya demi alasan keselamatan. Beberapa teman-teman mengirimkan pesan sekedar bertanya, apakah saya baik-baik saja?. Karena sesuai dengan yang diberitakan di televisi, Demo kali ini memang sangat bergejolak. Bahkan pemerintah akhirnya memutuskan untuk mengurangi intensitas penggunaan social media (FB, Instagram, dan whatsapp) demi menghindarkan masyarakat dari berita hoax. Keputusan pemerintah ini, jelas membuat para netizen termasuk saya sedikit mati kutu ketika sampai di Bandara. Tidak bisa mengirimkan gambar atau video, bahkan pesan-pesan whatsapp dating selalu terlambat. Heran, baru kali ini kejadian demo, hingga penggunaan social media menjadi sangat dibatasi.

Pada akhirnya saya sampai dengan selamat di terminal 3 Bandara Soekarno Hatta. Meskipun akses internet terbatas, hal itu tidak mengurangi kegembiraan saya sudah ada di Bandara. Toh tak lama kemudian, saya ditemani oleh sahabat sejak SMA untuk membunuh waktu sambil reuni kecil dan update kehidupan kami masing-masing. Jadilah, Terminal 3 menjadi meeting point favorit sejak 2 tahun terakhir.

Waktu boarding masih 6 jam lagi, saya memutuskan untuk beristirahat di hotel capsule digital di Bandara dengan maksud agar saya bisa memejamkan mata dengan nyaman. Meskipun tempatnya oke dan bersih, namun hinggal pukul 00.00 saya tetap tidak dapat memejamkan mata. Lagi-lagi perasaan cemas takut tertinggal pesawat itu muncul, ditambah lagi saya mengalami batuk dan sesak napas. Dengan penuh harap, saya terus membaca doa kepada Yang Maha Kuasa agar saya diberi ketenangan untuk beristirahat dan bangun tepat waktu. Hingga akhirnya, doa saya dikabulkan meski saya baru bisa tidur di 2 jam terakhir sebelum boarding. Singkat cerita saya berhasil terbang ke Singapura dengan lancar. Meski begitu masih ada tantangan yang harus dilalui. Saya harus berpindah terminal dalam waktu singkat begitu sampai Changi international airport.

Barangkali saya harus berterima kasih kepada petugas Bandara Changi dan Crew Singapore Airlines yang sangat ringan tangan dalam melayani perjalanan saya ke London. Betapa tidak, saat itu saya hanya memiliki waktu 50 menit untuk transit di Bandara Changi dan harus berpindah dari Terminal 2 ke Terminal 3. Begitu turun pesawat yang membawa saya dari Jakarta, saya harus lari sekencang-kencangnya untuk berlari mengejar Sky Train. Karena Sky Train akan dating 5 menit sekali. Bila saya terlewat 5 menit, itu tandanya waktu saya sudah berkurang menjadi 45 menit. Belum lagi, pada boarding pass, tidak tertulis dimana gate tempat saya boarding. Untung saat itu, ada petugas berbaik hati men-scan tiket saya sambil menunjukkan dimana Gate Pesawat menuju London. Ternyata Gate pesawat Singapore Airlines yang akan saya tumpangi berada di A4. Dan itu berjarak sekitar 700 meter dari stasiun pemberhentian Sky Train. Mau tidak mau, saya harus berlari sekuat tenaga agar saya bisa sampai Gate A4 tepat waktu. Mengingat 20 menit pesawat menuju London sudah Boarding. Disaat yang sama, sayapun menyadari bahwa kemampuan saya untuk berlari cepat menurun dari biasanya. Selain kurang tidur, memang beberapa bulan terakhir saya sudah jarang berlatih dan itu sangat berpengaruh. Meski begitu, saya berhasil menyelinap diantara penumpang lain di Terminal 3. Rupanya kata “Excuse me, Excuse me” yang saya ucapkan membantu untuk mendapatkan jalan yang lebih terbuka. Sehingga menuntun saya berhasil di antrian gate 4, di barisan yang paling akhir. Benar saja, begitu sudah sampai posisi tempat duduk yang sesuai, pintu pesawat ditutup. Tak lama kemudian, pesawat benar-benar take off. Saya bersyukur. Seandainya, Bapak petugas itu tidak berinisiatif memanggil saya, saya mungkin sudah ketinggalan pesawat.

Selama perjalanan Singapore – London, saya membuka kembali catatan kecil dan menghitung karunia sepanjang hari pasca keberangkatan. Saya mensyukuri semuanya. Diantara kejadian-kejadian yang mungkin saya keluhkan, ternyata banyak sekali orang berhati malaikat yang secara tidak sengaja membantu, meskipun itu hanya dengan hal kecil yang menenangkan hati saya. Saya bahagia menerima kebaikan-kebaikan itu. Kejadian ini juga mengingatkan saya untuk kembali rajin mempersiapkan segala sesuatunya lebih awal seperti yang mama lakukan bertahun-tahun. Karena bukan tidak mungkin, banyak kemungkinan tak terduga yang menuntut kita harus selalu siap menghadapinya.

Saat menuliskan ini, saya sudah berada di London dengan selamat. Hari-hari kedepan, saya sudah tidak sabar untuk menyambutnya dengan suka cita.

London, 23th May 2019

Traveling

Across The Universe

A day in life, Taken from my lens

Buckingham Palace
Big Ben, London
Camden, London
Camden, London
Thames River, London
Tower Bridge, London
Royal Liver, Liverpool
Ferris Wheel Albert Dock, Liverpool
The Beatles Story, Liverpool
The Beatles Story, Liverpool
Together, Albert Dock Liverpool
Summer, Cranfield University
Cranfield University Aerospace
“Hey Jude”, Cranfield University
Little Winner , Cranfield University
Books Review · Self Development · Student Life · Thought · Traveling

Books Review : Diary Awardee LPDP , by : Tamara Yuanita


Jika kau tak tahan lelahnya belajar, maka engkau akan menanggung perihnya kebodohan ( Imam syafii)

Saya selalu ingat nasehat imam syafii yang satu ini terutama ketika saya merasa berat saat menjalani proses belajar. Yah belajar memang tidak mudah. Apalagi seseorang yang sedang belajar di luar negeri. Dinamika prosesnya pasti akan berbeda dengan di Indonesia. Perbedaan ini sangat dirasakan oleh Tamara Yuanita salah seorang Awardee Lpdp angkatan 57. Beliau berhasil menceritakan pengalaman belajar yang berbeda  di salah satu kampus terbaik dunia, NTU (Nanyang Technological University) Singapura. Secara detail Penulis memberikan gambaran situasi perkuliahan disana.

Diawali dengan cerita saat Tamara berhasil memperoleh beasiswa LPDP dan terbang ke Singapura. Secara geografis singapore luasnya hanya
721,5 km² dan letaknya berdekatan Indonesia. Namun kondisi budaya masyarakatnya sudah berbeda. Sebagai anak perantauan, Tamara harus cepat beradaptasi dengan lingkungan sosial yang multiculture, Bahasa,  Sistem Negara Singapura dan memilih makanan halal. Penulis juga menceritakan fasilitas dan keuntungan saat menjadi mahasiswa NTU. Selain itu, banyak cerita lucu dan menarik yang membuat saya ketawa membayangkannya. Salah satunya saat Tamara terus-terusan makan di warung India. Penjual di warung tersebut merasa jumawa karena ada pelanggan yang sangat loyal. Padahal Tamara hanya makan karena warung india tersebut yang mencantumkan label halal.   

Selama membaca buku ini, saya mendapatkan pengetahuan bahwa kuliah di jurusan Technopreneurship and Innovation Program tidak hanya soal teori. Tapi juga banyak praktek/simulasi bisnis untuk mengasah kemampuan kerja sama pada kondisi multiculture, bagaimana bernegosiasi, pitching ke investor, pemahaman terhadap bisnis proses, strategic thinking, innovasi dan lainnya yang berhubungan dengan bisnis startup. Selama menjalani program, Tamara dibimbing oleh tenaga pendidik yang kompeten di bidang startup. Penulis menceritakan betapa ketatnya kompetisi diantara mahasiswa yang mayoritas berasal dari China. Bahkan hanya untuk mendapatkan kelompok untuk mengerjakan tugas besar/proyek sangat terasa kompetisinya. Dari sini saya mendapatkan lesson learned, bahwa bahasa menjadi kunci yang paling penting. Oleh karena itu, IELTS dengan score minimum 6.5 menjadi syarat utama saat akan menjalani studi di luar negeri. Meskipun di Singapore menggunakan Singlish (Singapore english), namun dengan memiliki kemampuan Bahasa Inggris yang cukup akan memudahkan kita untuk menjalani kehidupan perkuliahan dengan baik. Karena kesuksesan tidak hanya ditentukan apa yang ada diatas kertas, Namun bagaimana kita mampu bersosialisasi. Agar bisa bersosialisasi lebih baik dengan teman-teman dari mancanegara, ya jelas menguasai Bahasa negara tujuan studi.

Dibuku ini juga memaparkan bagaimana situasi lingkungan dan kebiasaan warga negara Singapura sehari-hari yang mungkin dapat membuka paradigma dan persiapan studi kita. Saya jadi ingat saat saya traveling ke Singapura. Singapura memang panas, namun buat jalan kemana-mana relatif lebih mudah. Moda transportasinya sudah maju dengan MRT-nya. Sayapun tidak menggunakan guide, cukup Google atau bertanya dengan warga lokal. Dari segi bahasa, selama kita bisa berbicara dalam Bahasa Inggris, rasanya tidak terlalu sulit untuk berinteraksi dengan orang lokal. Buat traveler pemula, negara ini layak untuk dicoba. Sehingga, sayapun berpikir bila kalian ingin melanjutkan kuliah diluar negeri, Singapura dapat menjadi Pilihan. Selain relatif dekat dengan Indonesia, Kualitas pendidikan Singapura sudah Worldclass. Saya sangat terkesan dengan apa yang dijelaskan penulis tentang sistem belajar mengajar di NTU jurusan Technopreneurship and Innovation program. Apalagi bagian saat penulis menjalani immersion program di USA. Buat saya hal ini sangatlah menarik. Karena bagian ini akan menceritakan bagaimana Tamara menjalani kegiatan di Sillicon valley, Harvard University dan lainnya.

Yang jelas buku Diary LPDP Awardee membuat saya harus dan wajib mempersiapkan segala sesuatunya lebih baik bila suatu saat nanti melanjutkan ke program PhD/DBA di United Kingdom mengikuti jejak Suami. Dengan segala penjelasan yang dipaparkan, kita dapat mengidentifikasi persiapan-persiapan apa saja yang dibutuhkan agar survive sampai akhir perkuliahan. So, bagaimana detail cerita hari demi hari penulis? Bagaimana sikap Tamara menghadapi culture shock, bertahan pada prinsip yang diyakini dan berhasil dalam proses adaptasi? Apa saja yang dilakukan penulis agar sukses hingga akhir perkuliahannya dan lulus dengan baik? Bagaimana dia dapat bertahan melewati turbulance perkuliahan yang sangat padat? semua terangkum melalui buku ini.

Saya rekomendasikan buku ini buat yang mau mempersiapkan diri untuk melanjutkan studi di luar negeri terutama Singapura.

  • Judul Buku : Diary Awardee LPDP
  • Penerbit : Stiletto Indie Book
  • Harga : 64.000
  • Info pemesanan : Instragram @mrsnahla.library
  • Link : https://bit.ly/2QEQ79r